Politik dumping sebenarnya adalah suatu
strategi pemasaran (marketing) dalam perdagangan antar-negara
(ekspor-impor). Sederhananya, politik dumping adalah kebijakan ekonomi
dimana produk / komoditi dalam negeri dijual di dalam negeri dengan
harga tinggi (mahal), tetapi produk / komoditi dalam negeri tersebut
dijual dengan sangat murah di luar negeri, untuk jenis barang yang sama.
Produk / komoditi yang dijual murah tersebut disebut barang dumping.
Ada tiga tujuan politik dumping yaitu,
(1) untuk menguasai pangsa pasar luar negeri, (2) mencapai target
pemasaran, dan (3) cuci gudang. Cuci gudang ini dikarenakan lebih baik
menjual barang dengan harga murah daripada menimbun barang dan tidak
menghasilkan uang. Negara pertama yang mengenalkan dumping ini adalah
Jepang. Akan tetapi, Jepang bukanlah satu-satunya Negara yang
menggunakan politik dumping ini. Ada Cina, Singapura, dan lain-lain.
Menurut Jacob Viner, pengamat dan ahli ekonomi dari Kanada mengatakan, dumping ada tiga bentuk, yaitu pertama, sporadic dumping, merupakan dumping yang bersifat tidak tetap. Kedua, dumping as intermitent, bersifat tidak tetap, tidak berkesinambungan, dan dilakukan dalam kurun waktu yang singkat. Yang ketiga, yaitu dumping as persistent,
bersifat tetap dan terus menerus, yang berarti merupakan dumping bentuk
merugikan dan mengandung unsur dan bersifat sengaja dan direncanakan
untuk merebut pangsa pasar produsen barang sejenis negara tuan rumah.
Dan bentuk ketiga inilah yang benar-benar mengancam produsen dalam
negeri.
Perdagangan antar Negara itu perlu
bahkan tidak berlebihan rasanya kalau dikatakan harus. Karena tidak
semua komoditi yang kita butuhkan ada di Indonesia, kalaupun ada,
mungkin jumlahnya tidak memadai atau karena ada factor-faktor tertentu
yang membuat suatu Negara mengimpor dari Negara lain.
Kita pasti tahu bahwa produk yang datang
dari Cina (kita ambil contoh dari Cina, karena produk dari Negara ini
sangat banyak di Indonesia) dan masuk ke Indonesia dijual dengan harga
sangat rendah bahkan dapat memukul harga pasaran yang ada di Indonesia,
sehingga membuat konsumen lebih memilih produk dari Cina. Mereka belum
melihat masalah kualitas produk tersebut melainkan melihat dari
harganya. Tentu saja ini merugikan produsen dalam negeri. Yang
kualitasnya berbeda tipis tapi terpaut harga yang agak jauh. Beberapa
dari kita pernah mendengar ungkapan “silahkan bayar sedikit mahal untuk
kualitas yang baik, atau belilah produk yang murah dengan kualitas
buruk. Dan silahkan kembali minggu depan ketika anda sudah siap membayar
sedikit lebih mahal.”
Contoh : Para pengekspor cina mengekspor
barang dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar di Indonesia
untuk jenis barang yang sama. Harga pasaran karpet buatan Indonesia
seharga Rp.50.000, cina bisa menjual karpet tersebut dengan harga Rp.
25.000. Harga yang lebih rendah ini akan menguntungkan Negara pengekspor
karena secara rasional produknya akan digemari di Indonesia dan ini
akan memberikan multiplier yang positif dan besar bagi perekonomian
Negara pengekspor.
Indonesia jelas dirugikan dengan politik
ini. Akan tetapi kalau Indonesia melakukan politik dumping ke Negara
lain, seumpama Indonesia mengekspor barang ke Australia dan menerapkan
politik dumping, Indonesia sendiri pun diuntungkan. Karena dalam hal ini
Indonesia menjadi Negara pengekspor.
Indonesia sendiri tidak lepas dari isu dumping. Pada pertengahan tahun 2010, isu politik dumping soal lembaran kaca bening (certain clean loat glass)
dituduhkan Australia pada tiga perusahaan kaca di Indonesia, yaitu PT.
Ashahimas Flat Glass, PT. Tossa Sakti dan PT. Mulia Glass. Ketiga
perusahaan ini dituduh sebagai penyebab kerugian perusahaan kaca
Australia. Indonesia pun dikenakan bea anti dumping, tapi itu tidak
menjadi masalah bagi Indonesia karena Indonesia menguasai 25% pangsa
pasar kaca di Australia dengan nilai $USD 442 dan kuantitasnya mencapai
4.500 ton per hari.
