Rabu, 05 Juni 2013

Politik Dumping

               Politik dumping sebenarnya adalah suatu strategi pemasaran (marketing) dalam perdagangan antar-negara (ekspor-impor). Sederhananya, politik dumping adalah kebijakan ekonomi dimana produk / komoditi dalam negeri dijual di dalam negeri dengan harga tinggi (mahal), tetapi produk / komoditi dalam negeri tersebut dijual dengan sangat murah di luar negeri, untuk jenis barang yang sama. Produk / komoditi yang dijual murah tersebut disebut barang dumping.
            Ada tiga tujuan politik dumping yaitu, (1) untuk menguasai pangsa pasar luar negeri, (2) mencapai target pemasaran, dan (3) cuci gudang. Cuci gudang ini dikarenakan lebih baik menjual barang dengan harga murah daripada menimbun barang dan tidak menghasilkan uang. Negara pertama yang mengenalkan dumping ini adalah Jepang. Akan tetapi, Jepang bukanlah satu-satunya Negara yang menggunakan politik dumping ini. Ada Cina, Singapura, dan lain-lain.
           Menurut Jacob Viner, pengamat dan ahli ekonomi dari Kanada mengatakan, dumping ada tiga bentuk, yaitu pertama, sporadic dumping, merupakan dumping yang bersifat tidak tetap. Kedua, dumping as intermitent, bersifat tidak tetap, tidak berkesinambungan, dan dilakukan dalam kurun waktu yang singkat. Yang ketiga, yaitu dumping as persistent, bersifat tetap dan terus menerus, yang berarti merupakan dumping bentuk merugikan dan mengandung unsur dan bersifat sengaja dan direncanakan untuk merebut pangsa pasar produsen barang sejenis negara tuan rumah. Dan bentuk ketiga inilah yang benar-benar mengancam produsen dalam negeri.
Perdagangan antar Negara itu perlu bahkan tidak berlebihan rasanya kalau dikatakan harus. Karena tidak semua komoditi yang kita butuhkan ada di Indonesia, kalaupun ada, mungkin jumlahnya tidak memadai atau karena ada factor-faktor tertentu yang membuat suatu Negara mengimpor dari Negara lain.
Kita pasti tahu bahwa produk yang datang dari Cina (kita ambil contoh dari Cina, karena produk dari Negara ini sangat banyak di Indonesia) dan masuk ke Indonesia dijual dengan harga sangat rendah bahkan dapat memukul harga pasaran yang ada di Indonesia, sehingga membuat konsumen lebih memilih produk dari Cina. Mereka belum melihat masalah kualitas produk tersebut melainkan melihat dari harganya. Tentu saja ini merugikan produsen dalam negeri. Yang kualitasnya berbeda tipis tapi terpaut harga yang agak jauh. Beberapa dari kita pernah mendengar ungkapan “silahkan bayar sedikit mahal untuk kualitas yang baik, atau belilah produk yang murah dengan kualitas buruk. Dan silahkan kembali minggu depan ketika anda sudah siap membayar sedikit lebih mahal.”
             Contoh : Para pengekspor cina mengekspor barang dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar di Indonesia untuk jenis barang yang sama. Harga pasaran karpet buatan Indonesia seharga Rp.50.000, cina bisa menjual karpet tersebut dengan harga Rp. 25.000. Harga yang lebih rendah ini akan menguntungkan Negara pengekspor karena secara rasional produknya akan digemari di Indonesia dan ini akan memberikan multiplier yang positif dan besar bagi perekonomian Negara pengekspor.
Indonesia jelas dirugikan dengan politik ini. Akan tetapi kalau Indonesia melakukan politik dumping ke Negara lain, seumpama Indonesia mengekspor barang ke Australia dan menerapkan politik dumping, Indonesia sendiri pun diuntungkan. Karena dalam hal ini Indonesia menjadi Negara pengekspor.
             Indonesia sendiri tidak lepas dari isu dumping. Pada pertengahan tahun 2010, isu politik dumping soal lembaran kaca bening (certain clean loat glass) dituduhkan Australia pada tiga perusahaan kaca di Indonesia, yaitu PT. Ashahimas Flat Glass, PT. Tossa Sakti dan PT. Mulia Glass. Ketiga perusahaan ini dituduh sebagai penyebab kerugian perusahaan kaca Australia. Indonesia pun dikenakan bea anti dumping, tapi itu tidak menjadi masalah bagi Indonesia karena Indonesia menguasai 25% pangsa pasar kaca di Australia dengan nilai $USD 442 dan kuantitasnya mencapai 4.500 ton per hari.

Incoterms 2010


  
 Incoterms merupakan akronim dari istilah international commercial terms. Secara definisi, Incoterms merupakan serangkaian terminologi yang digunakan dalam transaksi perdagangan internasional. Incoterms ini merupakan seperangkat peraturan yang diterbitkan oleh institusi perdagangan swasta, international chamber of commerce (ICC). Dengan demikian kedudukan Incoterms ini bersifat independen, karena bukan merupakan produk pemerintah dari negara manapun.  
Berdasarkan sejarahnya, Incoterms pertama kali diterbitkan pada tahun 1936 setelah masa perang dunia pertama. Kemudian dalam perjalanannya, mengalami beberapa perubahan. Perubahan ini sanatiasa dilakukan oleh ICC dalam rangka mengadopsi praktek-praktek perdagangan yang paling update. Perubahan pertama dilakukan pada tahun 1953, yang dikenal dengan sebagai Incoterms 1953. Selanjutnya perubahan dilakukan secara rutin, sehingga dikenal versi-versi Incoterms sesuai dengan tahun perubahannya, yaitu: Incoterms 1967, Incoterms 1976, Incoterms 1980, Incoterms 1990, 2000, dan terakhir adalah Incoterms 2010 yang mulai diberlakukan sejak tanggal 1 januari tahun 2011.
1.    Kelompok C
a.          Cost and Freight (C&F)
      Penyerahan barang dan peralihan risiko dari penjual kepada pembeli dilakukan pada saat barang telah dimuat di atas kapal (on board). Penjual berkewajiban menentukan pengangkut, membuat kontrak pengangkutan, menempatkan barang di atas kapal, menanggung biaya muat, dan ongkos angkut hingga pelabuahn tujuan. Sedangkan kewajiban pembeli adalah menanggung biaya di luar beban penjual sesuai dengan kontrak pengangkutan. Export clearance dan biaya pengangkutan menjadi beban penjual, sedangkan risiko sejak barang dimuat di atas kapal oleh penjual hingga ke pelabuahan tujuan serta   import clearance menjadi tanggung jawab pembeli.
b.         Cost Insurance and Freight (CIF)
      Penyerahan barang dan peralihan risiko dari penjual kepada pembeli dilakukan pada saat barang telah dimuat di atas kapal (on board). Kewajiban penjual adalah menentukan pengangkut (carrier), membuat kotrak pengangkutan, menempatkan barang di atas kapal, menanggung buaya muat, ongkos angkut, dan biaya bongkar di pelabuhan tujuan, serta biaya asuransi. Sedangkan kewajiban pembeli adalah menanggung biaya di luar beban penjual sesuai kontrak pengankutan. Export clearance, biaya pengangkutan dan biaya asuransi menjadi beban penjual sedangkan menjadi beban pembeli.
c.          Carriage Paid to (CPT)
      Syarat ini digunakan dalam hal pengangkutan barang dilakukan menggunakan multimoda transport. Penyerahan barang dan peralihan risiko dari penjual kepada pembeli dilakukan pada saat barang telah dimuat di atas alat angkut yang pertama. Penjual berkewajiban menentukan pengangkut (carrier), membuat kontrak pengangkutan, menyerahkan barang kepada pengangkut pertama, membayar biaya muat, ongkos angkut, dan biaya bongkar di tempat tujuan. Sedangkan pembeli berkewajiban menanggung biaya di luar beban penjual sesuai kontrak pengangkutan. Export clearance, biaya pengangkutan menjadi beban penjual. Sedangkan risiko sejak barang diserahkan kepada pengangkut pertama oleh penjual hingga ke tempat tujuan serta import clearance menjadi beban pembeli.
d.         Carriage and Insurance Paid (CIP)
    Syarat ini digunakan dalam hal pengangkutan barang dilakukan menggunakan multimoda transport. Penyerahan barang dan peralihan risiko dari penjual kepada pembeli dilakukan pada saat barang telah dimuat di atas alat angkut yang pertama. Penjual berkewajiban menentukan pengangkut, membuat kontrak pengangkutan, menyerahkan barang kepada pengangkut pertama, membayar biaya muat, ongkos angkut, biaya bongkar di tempat tujuan, dan biaya asuransi. Sedangkan kewajiban pembeli adalah membayar biaya di luar beban penjual sesuai kontrak pengangkutan. Export clearance, biaya pengangkutan, dan biaya asuransi menjadi beban penjual, sedangkan import clearance menjadi beban pembeli.
2.    Kelompok D
a.          Delivered at Terminal (DAT)
            Terms ini bisa digunakan untuk pengiriman barang yang dilakukan dengan menggunakan alat angkut aneka wahana. Seller menyerahkan barang kepada buyer di terminal, pada saat barang tiba di pelabuhan tujuan atau tempat tujuan. Terminal adalah termasuk diantaranya : Dermaga, gudang, container yard, terminal kereta api, atau terminal di pelabuhan udara. Kedua belah pihak ( seller dan buyer ) sepakat bahwa terminal dimaksud dan bila mungkin menunjuk suatu titik adalah merupakan titik perpindahan resiko dari seller kepada buyer. Apabila seller bermaksud untuk menganggung semua biaya dan resiko dari terminal tersebut ke titik tertentu yang lain maka alternative DAP atau DDP bisa digunakan
b.         Delivered at Place (DAP)
            Terms ini bisa digunakan untuk pengiriman barang yang dilakukan dengan menggunakan alat angkut aneka wahana. Seller menyerahkan barang kepada buyer di terminal, pada saat barang tiba yang siap dibongkar tempat tujuan. Kedua belah pihak ( seller dan buyer ) disarankan untuk menentukan sejelas mungkin suatu titik ditempat tujuan yang disepakati, karena pada saat ini resiko akan berpindah dari seller kepada buyer. Apabila seller bermaksud untuk menganggung semua biaya dan resiko sampai pengeluaran barang, membayar pajak dll, bisa dipertimbangan untuk menggunakan DDP: Deliver Duty Paid.
c.          Delivered Duty Paid (DDP)
            Penyerahan barang dan peralihan risiko dari penjual kepada pembeli dilakukan di tempat tujuan bongkar barang, termasuk penyelesaian import clearance. Kewajiban penjual adalah menentukan pengangkut, membuat kontrak pengangkutan, membayar biaya muat, ongkos angkut, biaya bongkar dan menyerahkan barang kepada pembeli di tempat tujuan bongkar barang. Sedangkan kewajiban pembeli adalah menerima barang di tempat tujuan bongkar barang. Export-import clearance, biaya pengangkutan, dan risiko hingga tempat tujuan bongkar barang menjadi tanggung jawab penjual.
2.    Kelompok E
a.          Ex Works (EXW)
Penyerahan barang dan peralihan risiko dari penjual kepada pembeli dilakukan di tempat penjual. Kewajiban penjual adalah hanya menyediakan barang di tempatnya (pabrik/ gudang). Sementara pembeli berkewajiban mengurus pengangkutan. Biaya pengangkutan, izin kepabeanan di wilayah negara penjual maupun pembeli (export-import clearance), dan risiko sejak barang diangkut dari pabrik/ gudang penjual hingga ke tempat pembeli adalah tanggung jawab pembeli.
4. Kelompok F
a.          Free Carrier At (FCA)
            Penyerahan barang dan peralihan risiko dari penjual kepada pembeli dilakukan pada saat barang diserahkan kepada pihak pengangkut yang ditunjuk oleh pembeli. Kewajiban penjual adalah menyiapkan pengangkutan atas nama pembeli. Sementara pembeli bertugas menentukan pengangkut (carrier) dan membuat kontrak pengangkutan (carriage contract). Izin kepabeanan diwilayah penjual (export clearance) menjadi tanggung jawab penjual. Sedangkan biaya pengangkutan, risiko sejak barang diserahkan oleh penjual kepada pihak pengangkut (carrier) hingga ketempat pembeli.
b.         Free Along side (FAS)
      Penyerahan barang dan peralihan resiko dari penjual kepada pembeli dilakukan saat barang ditempatkan di samping kapal. Penjual berkewajiban menempatkan barang disamping kapal. Sedangkan kewajiban pembeli adalah menentukan pengangkutan dan membuat kontrak pengangkutan.  Izin kepabeanan di wilayah penjual (export clearance) menjadi tanggung jawab penjual. Sedangkan biaya pengangkutan maupun risiko sejak barang ditempatkan di samping kapal oleh penjual sampai ke tempat pembeli serta import clearance menjadi tanggung jawab pembeli.
c.          Free On Board (FOB)
      Penyerahan barang dan peralihan risiko dari penjual kepada pembeli dilakukan pada saat barang telah dimuat di atas kapal (on board). Kewajiban penjual adalah menempatkan barang di atas kapal dan menanggung biaya muat sedangkan keajiban pembeli adalah menentukan pengangkut, menentukan kontrak pengangkutan, dan menanggung biaya angkut dan biaya bongkar. Export clearance dan biaya muat di atas kapal menjadi beban penjual. Sedangkan biaya pengangkutan maupun risiko sejak barang dimuat di atas kapal oleh penjual hingga ke tempat pembeli, serta import clearance menjadi beban pembeli.